Kamis, 21 Juli 2011

Kisah Tentang Proses Lenyapnya Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah (1)

Oleh: Yulianus Edo Natalaga

Segara Anakan ialah laguna raksasa yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa di perbatasan antara Propinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan laguna di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusa Kambangan. Kawasan Segara Anakan merupakan outlet dari 3 (tiga) sungai besar, yaitu Sungai Citanduy, Sungai Cibereum dan Sungai Cikonde serta sungai-sungai kecil lainnya.
Laguna sendiri dalam istilah geografi adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan laut. Segara Anakan merupakan kawasan perairan yang unik, karena didominasi hamparan hutan bakau (mangrove) yang sangat luas (Parwati, 2004).
Segara Anakan merupakan salah satu laboratorium alam bagi para peneliti dalam dan luar negeri dari aneka disiplin ilmu, antara lain biologi, geologi, fisika, sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Artinya laguna Segara Anakan merupakan laguna yang sangat kaya akan manfaat. Ditinjau dari fungsi sosial ekonomi, ekosistem mangrove di wilayah ini menyangkut siklus kehidupan ikan, udang, kepiting dan fauna lainnya, seperti burung dan aneka reptile. Laguna ini merupakan tempat berkembang biak dan tempat membesar atau berkembangnya anak-anak satwa laut itu sebelum kemudian keluar melalui muara laguna ke laut lepas, Samudera Hindia, untuk selanjutnya ditangkap para nelayan. Hal itu penting buat menunjang keberlanjutan produk perikanan laut setempat yang sangat erat berkaitan langsung dengan kondisi sosial ekonomi nelayan. Sebagai sarana transportasi laut antar kecamatan dan pusat-pusat keramaian di tepi barat, selatan dan timur perairan Segara Anakan, laguna ini sangat vital. Potensi lain adalah daya tarik kepariwisataannya yang kuat (Parwati, 2004).
Hasil survei tahun 1980-an menunjukkan, di Segara Anakan terdapat 26 jenis tumbuhan mangrove dengan tiga jenis vegetasi (tumbuhan). Yang paling dominan adalah jenis api-api, bakau, dan cancang (Bruguiera gymnonthiza) yang sering dimanfaatkan penduduk untuk kerangka bangunan rumah panggung. Mangrove memang merupakan ekosistem paling produktif di antara komunitas laut. Daun-daunnya yang rontok ke air dan kemudian melapuk merupakan tempat mencari makan serta tempat pemijahan berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut bernilai ekonomi tinggi. Kawasan ini berperan besar terhadap tingginya hasil perikanan di Laguna Segara Anakan (Aris Andrianto, 2008).
Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian dari Sastranegara dkk. yang disampaikan dalam makalahnya pada Deutscher Tropentag tahun 2003 di Gottingen. Hasil penelitiannya tersebut menyebutkan bahwa telah ditemukan sedikitnya 15 spesies kepiting bakau di kawasan Laguna Segara Anakan pada tahun 2003. Dan 90% dari jenis tersebut dapat ditemui dengan mudah di kawasan yang tertutup rapat oleh kawasan mangrove yang masih baik di laguna tersebut (Sastranegara dkk., 2003).
Menurut Peneliti Senior dari Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT), Odilia Rovara, mengungkapkan, Segara Anakan keunikan ekosistem laguna Segara Anakan ini dapat dilihat dari keberadaan biota yang ada, salah satunya adalah ikan sidat. Ikan ini memiliki kandungan DHA hampir dua kali lipat dibandingkan ikan biasa. "Dari 12 species ikan sidat di dunia, tujuh di antaranya berkembang di Segara Anakan. Hal ini karena kawasan tersebut memiliki ekosistem yang unik (Harian Kompas, 2008).
Oleh Badan Konservasi Segara Anakan dan Nusakambangan, agar konservasi di kawasan lagunan Segara Anakan bisa berjalan, kawasan ini di bagi menjadi tiga zona yaitu: zona inti, zona transisi, dan zona pemanfaatan (Tempo Interaktif, 2009).

Degradasi Laguna Segara Anakan


Dengan tingginya potensi ekologis, sosial dan ekonomi dari Laguna Segara Anakan, laguna ini juga sedang didera berbagai permasalahan yang serius dalam lima puluh tahun terakhir. Berbagai permasalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 hal penting yaitu: (1) Pendangkalan dan penyempitan luas kawasan laguna; (2) Kerusakan kawasan hutan mangrove yang ada di laguna. Kedua kelompok masalah ini saling terkait antara sebab, akibat dan dampaknya.
Laguna Segara Anakan secara kontinyu mengalami degradasi akibat tingkat sedimentasi yang tinggi. Adanya sedimentasi pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna (Boesono S., 2009).
Data dari Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) yang diperoleh Harian Kompas, pada Desember 2008, menunjukkan, luas perairan Laguna Segara Anakan tahun 1903 masih 6.450 ha. Namun tahun 1939, tinggal 6.060 ha. Jadi, dalam kurun waktu 36 tahun luas wilayah perairan laguna yang hilang akibat sedimentasi mencapai 390 ha. Sekitar tahun 1971, luas Segara Anakan menyusut lagi menjadi 4.290 ha. Hal ini terus berlanjut hingga pada tahun 1984 luas laguna yang memiliki hutan mangrove terluas di Jawa itu mencapai 2.906 ha. Jumlah tersebut pada tahun 1994 atau 10 tahun kemudian menyusut 1.331 ha menjadi 1.575 ha. Luasan tersebut kembali turun pada tahun 2005 atau 11 tahun kemudian menjadi 834 ha. Artinya, dalam kurun waktu 21 tahun, terjadi penyusutan luasan laguna 2.072 ha atau 98,6 ha per tahun (Harian Kompas, 2008).
Penurunan luasan kawasan Laguna Segara Anakan dapat diamati dengan menganalisis seri data penginderaan jauh secara serial. Hal ini  yang kemudian dilakukan oleh LAPAN pada tahun 2004. Dari citra Landsat yang diambil pada tahun 1978, 1993 dan 2002.


Dari seri citra tersebut kemudian dapat disusun pola spasial penurunan luas kawasan Laguna Segara Anakan yang dapat di lihat sebagai berikut:

Dari kedua gambar di atas, dapat diperhatikan bahwa penumpukan sedimen terutama terjadi pada daerah utara laguna. Hal tersebut dimungkinkan karena bagian selatan laguna ialah bagian cekungan yang tidak memiliki arus yang deras. Sedangkan pada bagian selatan, yang mendekati Pulau Nusakambangan merupakan kawasan yang berarus deras.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa dalam perkembangan pengurangan luas kawasan laguna padatahun 1998 – 2003 hanya mengalami pengurangan luas sekitar 60 Ha/tahun. Terdapat indikasi telah terjadi perbaikan kondisi 3 kali lebih baik dari 20 tahun sebelumnya, meskipun pengurangan luas 60 Ha per tahun masih tidak bisa ditolelir (Maryono 2004).
Kerusakan laguna Segara Anakan terutama disebabkan tingginya materi sedimen yang masuk ke dalamnya. Menurut Zuardi (2005), di perkirakan besarnya sedimen yang masuk dari Sungai Citanduy sebesar 8.05 juta ton/tahun, Sungai Cimeneng sebesar 0.87 juta ton /tahun dan Sungai Cikonde 0,22 juta ton/tahun dengan total pasokan sedimen 9.14 juta ton/tahun. Dan total sedimen yang masuk ke Segara Anakan sekitar 8,5 juta ton/tahun keluar ke laut dan sekitar 0,66 juta ton/tahun mengendap di laguna Segara anakan (Zuardi, 2005).
REFERENSI
Agus Maryono, 2004. Kajian Eko-Hidraulik Sudetan Citandui, Makalah, Magister Sistem Teknik, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Agus Maryono, 2004.  Analisis Kontroversi Sudetan Citandui, Makalah, Magister Sistem Teknik, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Boesono S., 2009. Perkembangan Perikanan Tangkap Akibat Perubahan Luasan Laguna Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah), Tesis, Jurusan Ilmu Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
 Ita Carolita, Ety Parwati, Bambang Trisakti, Tatik Kartika, dan Gahton Nugroho, 2005. Model Prediksi Perubahan Lingkungan Di Kawasan Perairan Segara Anakan; Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan EfektifPenginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa” di UNAIR,LAPAN, Jakarta .
Eti Parwati, 2004. Inventarisasi Dan Prediksi Dinamika Kawasan Pesisir Segara Anakan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh; Makalah Pengantar Falsafah Sains, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Indra Zuardi, 2005. Penyelamatan Laguna Segara Anakan dengan Sudetan, Thesis, Jurusan Teknik Sipil Imstitut Teknologi Bandung, Bandung
Moh. Husein Sastranegara, Heleen Fermon, Michael Muhlenberg, 2003. Diversity and Abundance of Intertidal Crabs at the East Swamp-Managed Areas in Segara-Anakan Cilacap, Central Java, Indonesia : Deutscher Tropentag 2003 :“Technological and Institutional Innovations for Sustainable Rural Development”, Georg August Universität Göttingen, Göttingen

Sumber Lain Yang Relevan
Kompas, 2008. Luas Segara Anakan Tinggal Kurang dari 800 Hektar, http://www.kompas.com/news/, upload time: 14 Desember 2008
Aris Andrianto, 2008. Sedimentasi Segara Anakan hilangkan mata pencaharian nelayan, http://www.aji.or.id/buletin/, upload time: Sun, 17/02/2008 - 14:14
Tempo Interaktif, 2009. Pemukiman Meningkat, Kelestarian Segara Anakan Terancam, http:/www.tempointeraktif.com/news/, upload time: Senin, 06 Juli 2009 | 14:27 WIB

Jumat, 07 Januari 2011

Daerah Aliran Sungai

Oleh: Yulianus Edo Natalaga
Yogyakarta, 8 Januari 2011

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggungan gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2004). Daerah aliran sungai juga diartikan sebagai sebuah unit hidrologi dimana presipitasi (hujan) menjadi input utamanya dan debit (Q) merupakan outputnya (Seyhan, 1977)
Daerah aliran sungai dapat dikatakan sebagai zona pemroses dimana banyak proses hidrologis terjadi di sini. Input utama DAS adalah air hujan, sedangkan output dari air hujan tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari DAS itu sendiri. Hujan yang jatuh pada suatu DAS akan berinteraksi dengan komponen-komponen ekosisten DAS dan mengalami proses yang panjang sebelum keluar dari muara sungai. Proses yang terjadi pada DAS adalah: evapotranspirasi, intersepsi, infiltrasi dan perkolasi, dengan demukian dapat dikatakan bahwa sungai merupakan indikator utama yang dapat menggambarkan kondisi suatu DAS.
Sebagai suatu kesatuan ekosistem, DAS terbagi menjadi tiga sistem ekologi yaitu: daerah hulu; daerah tengah, dan daerah hilir. Daerah hulu dicirikan oleh karekteristik: kemiringan lereng tinggi (lebih dari 15%), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, jenis vegetasi berupa hutan dan lahan pertanian. Daerah hilir memiliki karakteristik pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, dan kemiringan lereng relatif rendah (kurang dari 8%). Daerah tengah merupakan daerah peralihan dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas (Asdak, 2004).
Daerah hulu dan hilir secara biofisik meliki keterkaitan, yaitu proses-proses yang terjadi di daerah hulu akan memberikan dampak terhadap daerah hilir. Erosi yang terjadi di daerah hulu selain mengakibatkan penurunan produktivitas pada wilayah yang tererosi, tetapi juga menyebabkan perubahan fluktuasi debit dan meningkatnya pengangkutan sedimen sehingga lebih lanjut dapat menyebabkan penurunan kapasitas tampung badan sungai dan meningkatkan risiko terjadinya banjir. Daerah hulu merupakan bagian yang penting karena memiliki fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Oleh sebab itu daerah hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS (Asdak, 2004). Pada hakekatnya pelaksanaan pembangunan saat ini bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat melalui peningkatan produktivitas sumber daya alam. Tujuan pelaksanaan pembangunan tersebut tidak berbeda dengan tujuan dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Sasaran atau tujuan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu untuk memaksimalkan keuntungan sosial ekonomi dari segala aktivtas tata guna lahan di Daerah Aliran Sungai. Sasaran atau tujuan yang spesifik harus dikaitkan dengan karakteristik DAS (sosial, budaya, ekonomi, fisik, dan biologi) yang akan dikelola. Namun demikian sasaran yang akan dicapai pada umumnya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan daerah aliran sungai, sehingga tingkat produktivitas di tempat tersebut tetap tinggi. Pada saat bersamaan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pengelolaan lahan tersebut pada daerah hilir dapat diperkecil (Asdak, 2004).
Landasan untuk pengelolaan secara menyeluruh suatu DAS berawal dari perencanaan. Oleh sebab itu tahap perencanaan menyeluruh pengelolaan DAS merupakan bagian strategis untuk tercapainya upaya aktifitas pembangunan, yaitu pembangunan yang berkelanjutan (Asdak, 2004).

Sumber:
Asdak, C., 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Seyhan, E., 1977. The Watershed as An Hydrologic Unit, Geografisch Instituut, Ultrecht, Netherland.