Kamis, 11 Maret 2010

Definisi, Corak, dan Sifat Hukum Adat

Yulianus Edo Natalaga, Yogyakarta
Hukum Adat merupakan bagianyang tidak terlepaskan dalam kebudayaan masyarakat di Indonesia.  Jauh sebelum hukum kolonial diterapkan di nusantara, masyarakat nenek moyang kita telah memiliki suatu sistem hukum tersendiri. Akan tetapi, dalam perjalanan waktu perangkat hukum kolonial yang kemudian diadopsi oleh negara kita sebagai landasan hukum positifnya. Hal ini terutama hukum-hukum adat yang berlaku di masyarakat tradisional sangat bersifat lokal, tidak universal seperti sistem hukum kolonial. Tetapi di balik ke-lokal-anya, hukum adat sangat mengakomodir sifat kebhinekaan bangsa ini.
Sebelum mengulas lebih jauh tentang hukum adat, penulis akan mencoba menelaah batasan-batasan tentang hukum adat itu sendiri. Terdapat beberapa pendapat ahli yang merumuskan pengertian tentang hukum adat. Antara lain adalah menurut Soepomo, yang merumuskan bahwa hukum adat ialah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan pihak berwajib telah ditaati dan didukung rakyat berdasar keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum (Soepomo dalam Jamin, 2007).
Sedikit berbeda dengan Soepomo, Soekanto menyebutkan bahwa hukum adat merupakan hukum non statuter yang untuk bagian terbesar merupakan hukum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pad putusan-putusan hakim yang berisikan asas-asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara diputuskan (Soekanto dalam Jamin, 2007).
Selain itu menurut Konvensi ILO 169, 1989, Masyarakat Adat adalah “masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut dan statusnya diatur, baik seluruh maupun sebahagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus”.
Menurut Kurniawan dalam artikelnya yang dimuat dalam Majalah Hukum “Yuridika” FH Unair, Volume 23, No. 1 Januari-April 2008, hukum adat memiliki corak, dan karakteristik sebagai berikut:
1. Komunalistik, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat.
2. Religio-magis, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme (kepercayaan atas roh-roh nenek moyang, dsb).
3. Konkrit, artinya perhubungan-perhubungan hidup yang ada dalam hukum adat adalah perhubungan-perhubungan yang konkrit atau nyata. Seperti halnya, dalam hukum adat istilah jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran uang dan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat tidak dikenal sistem jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW.
4. Visual, artinya dalam hukum adat perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (seperti halnya sistem panjer, peningset, dll).
                                                                                                                                                (Kurniawan, 2008)
Dalam artikelnya kemudian Kurniawan menjelaskan karakter-karakter hukum adat sebagaimana dikemukakan di atas adalah cermin dari karakter masyarakat Indonesia. Sifat komunalistik dapat terlihat dari kebiasaan gotong-royong dan gugur-gunung yang biasa dilakukan dalam menghadapi pekerjaan besar secara bersamasama, ataupun dalam mekanisme musyawarah yang biasa dilakukan masyarakat kita sejak berabad-abad lampau dalam memecahkan suatu permasalahan bersama. Sifat religio-magis terlihat dari kebiasaan masyarakat kita seperti halnya pemberian sesajen, upacara selamatan, sedekah bumi, dan lain-lain. Hal ini dilakukan karena masyarakat kita tidak membedakan dimensi dunia lahir dan gaib. Kedua dimensi tersebut diyakini merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan, sehingga segala macam perbuatan yang akan dilakukan demi kepentingan kehidupan dunia lahir juga selalu memperhatikan aspek kehidupan dunia gaib.
Karakteristik-karakteristik masyarakat asli Indonesia yang tercermin dalam corak dan sifat hukum adat di atas itulah yang menjadi filsafat hukum asli bangsa Indonesia, yang dapat dikatakan sebagai penanda jiwa bangsa Indonesia sehingga dengan sendirinya berfungsi sebagai pembeda dengan filsafat dan sistem hukum lain di luarnya seperti halnya sistem hukum barat. Hal ini akan semakin terbukti jika dilakukan perbandingan secara langsung antara sistem hukum adat dengan sistem hukum barat (Kurniawan, 2008).
Menurut Soerojo dalam Kurniawan, setidaknya terdapat tiga hal pokok yang menunjukkan perbedaan antara sistem hukum barat dengan sistem hukum adat. Pertama, sistem hukum barat mengenal pembedaan zakelijk rechten dan persoonlijk rechten, sedangkan sistem hukum adat tidak mengenal pembedaan hak sebagaimana demikian. Hak menurut sistem hukum adat ditentukan menurut konteks keadaannya. Kedua, dalam sistem hukum adat tidak mengenal klasifikasi atau pembidangan hukum seperti halnya dikotomi menurut Ulpianus yang dianut dalam sistem hukum barat yakni yang membagi ruang hukum menjadi dua yaitu hukum publik dan hukum privat. Ketiga, jika dalam sistem hukum barat dikenal pembedaan pelanggaran hukum menjadi pelanggaran hukum pidana dan pelanggaran hukum perdata, maka dalam sistem hukum adat tidak mengenal pembedaan pelanggaran hukum sebagai demikian (Kurniawan, 2008).
Hukum adat adalah sistem hukum yang sama sekali berbeda dengan Civil Law System atau sistem hukum positif yang berlaku. Hukum adat adalah bersifat hukum non statutair atau hukum tidak tertulis, karena mewujud pada kebiasaan hidup sehari-hari dalam masyarakat. Adanya corak ini disebabkan oleh adanya keyakinan dalam masyarakat kita bahwa apa yang tertulis sebagai suatu bentuk rumusan dapat mudah menimbulkan salah sangka karena masyarakat kita telah lama sadar bahwa apa saja yang dinyatakan dalam kata selalu akan menunjukkan kepada hal-hal yang tidak sepenuhnya tepat mengenai apa yang sebenarnya dikandung dalam intinya.
Dengan adanya corak hukum adat yang non statutair ini, maka dengan sendirinya dapat tergambar bahwa hukum adat tidak mengenal prinsip legisme maupun filsafat positivisme sebagaimana yang terkandung dalam Civil Law System. Dengan adanya corak non statutair yang merupakan a contrario dari prinsip legisme ini, maka hukum adat justru terbebas dari keterbatasan dan statisme yang menjadi konsekuensi bentuk hukum tertulis, dengan demikian hukum adat dengan sendirinya selalu memiliki sifat dinamis karena hukum adat adalah living law atau hukum yang hidup sehingga ia akan tumbuh dan berkembang seiring dinamisme budaya masyarakat tersebut.
Filsafat positivisme tidak dikenal dalam hukum adat. Sebaliknya, hal-hal yang sifatnya metafisika yang dalam filsafat positivisme dikategorikan sebagai hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai ukuran kebenaran karena tidak bersifat pasti- justru mendapatkan kedudukan yang utama dalam hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari corak religio-magistik yang ada dalam hukum adat yang juga sekaligus corak masyarakat Indonesia, sehingga keseimbangan kosmik yang merupakan kesatuan tata dunia lahir dan batin adalah tujuan yang ingin disasar oleh adanya pengaturan dalam hukum adat. Dengan demikian, pengembanan dan penegakan hukum tidak hanya sebatas memenuhi tuntutan “keadilan” yang diredusir maknanya menjadi “apa yang telah menurut hukumnya” saja, melainkan demi menjaga keseimbangan kosmis berdasarkan rasa keadilan yang berkembang di dalam masyarakat.
Hukum adat justru menghindari sifat kepastian secara sempit sebagaimana yang diutamakan oleh positivisme hukum dalam kultur Civil Law System, karena segala hal menurut hukum adat tidak dapat disama ratakan melainkan harus dikaji dan dipertimbangkan konteksnya menurut tempat, waktu, dan keadaannya (deso, kolo, potro). Dengan adanya fleksibilitas ini, maka kesulitan untuk selalu dapat terpenuhinya tuntutan keadilan akibat adanya kecenderungan pertentangan antara tujuan keadilan dan kepastian (yang mana di dalam kultur Civil Law System dengan positivisme hukumnya cenderung lebih diutamakan tujuan kepastian) dipastikan tidak akan ditemui, sehingga secara tegas dapat dikatakan bahwa hukum adat akan selalu linier dengan tujuan keadilan (Kurniawan, 2008).
Sumber:
Jamin, M., dan Mulyanto, 2007. Bahan Ajar Kuliah Sosiologi Hukum Fakultas Hukum UNS. Tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo.
Kurniawan, JA., 2008. Hukum Adat dan Problematika Hukum Indonesia, Majalah Hukum “Yuridika”, Fakultas Hukum Universitas Airlanga, (23) 1.
Nababan, Abdon, 2002. Revitalisasi Hukum Adat untuk Menghentikan Penebangan Hutan secara 'Illegal' di Indonesia, Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Multi-Pihak tentang "Illegal Logging Suatu Tantangan dalam Upaya Penyelamatan Hutan Sumatera", Yayasan Hakiki, Departemen Kehutanan dan MFP-DFID, Pekanbaru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar