Senin, 22 Maret 2010

Hukum Adat dan Pengelolaan Lingkungan Di Indonesia (1)

Yulianus Edo Natalaga, Yogyakarta
Indonesia, negeri yang mempersatukan keberagaman adat-istiadat dan kebudayaan dalam satu rumpun, yaitu nusantara. Persamaan nasib, rumpun kebudayaan dan tujuan menjadi dasar para pendiri bangsa ini kemudian meleburkan diri dalam kesatuan Indonesia. Untuk menampung dan  mengelola negeri dengan sedemikian banyaknya kebudayaan ini kemudian di susun instrumen-instrumen pengelolaan yang yang dapat diterima oleh semua unsur kebudayaan yang ada sebagai panduan dalam mengelola bangsa yang besar ini.
Apa dinyana kemudian yang terjadi, instrumen-instrumen ini yang bersifat universal untuk semua adat dan kebudayaan kemudian tidak hanya menjadi panduan (guideline) tetapi menjadi yang utama. Yang kemudian mengikis nilai-nilai hukum adat yang bersifat khusus dan tradisional untuk setiap kebudayaan. Padahal dalam hakikatnya, nilai-nilai hukum adat dan tradisi dari tiap kebudayaan yang ada di nusantara merupakan sumber instrumen-instrumen tersebut. Secara perlahan tetapi pasti instrumen-instrumen ini kemudian menjadi satu-satunya sumber panduan pengelolaan yang seragam antar wilayah.
Hal ini juga yang terjadi di dalam ranah pengelolaan lingkungan atau dalam hal yang lebih umum dikenal dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Setiap sumberdaya alam yang bertempat di suatu tempat memiliki kekhasannya sendiri-sendiri. Pengelolaan yang hanya berpanduan pada instrumen yang bersifat seragam antar wilayah selama ini terbukti tidak memberikan hasil yang optimal. Bahkan pada beberapa kasus, kemudian menyebabkan kemuduran dari sumber daya alam itu sendiri, baik secara kuantitas dan kualitas.
Dari permasalahan ini kemudian timbul pertanyaan dalam benak penulis, bagaimana kedudukan nilai-nilai adat dan hukum adat dalam hukum perundangan dan peraturan di Indonesia umumnya dan dalam pengelolaan lingkungan khususnya.
Di bidang agraria, pada Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Dalam undang-undang ini pada pasal 3 disebutkan bahwa:
 Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Dan kemudian dilanjutkan dalam penjelasan tentang pasal ini:
Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana dike- tahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang- Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan.
Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.”
Dari pasal tersebut terdapat dua poin penting yang menjadi perhatian yaitu pada klausul “hak ulayat diakui bila memang masih ada” dan klausul yang membenarkan menyampingkan hak ulayat bila berkaitan dengan kepentingan yang lebih luas.
Untuk menjelaskan keberadaan hukum adat yang sebenarnya masih ada, dalam Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pada pasal 5 ayat (1) yang berbunyi:
 Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulaya sebaiamana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.”
Dengan pasal tersebut, maka diperlukan suatu kajian mendalam atas suatu masyarakat hukum adat yang dikaji, sebelum dapat ditentukan hak masyarakat hukum adat tersebut atas sebidang lahan yang dikatakan memiliki hak ulayat. Dikarenakan tingkat keragaman budaya dan masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia, maka kajian ini sebaiknya tidak dilaksanakan secara sendiri-sendiri, tetapi secara simultan untuk menghindari tumpang tindih hak ulayat atas lahan. Sayangnya kajian ini sendiri masih jarang dilakukan di Indonesia.
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 juga mengatur hak milik menurut hukum adat pada pada pasal 22, yang disebutkan:
 Ayat (1) Terjadinya hak milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2) Selain Menurut sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik terjadi karena:
a.      Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang diterapkan dengan Peraturan Pemerintah.
b.      Ketentuan Pemerintah”
Diperlukan tingkat keaktifan jajaran Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi dan mengakomodasi kepentingan dari masyarakat hukum adat yang ada di wilayahnya. Hal ini yang ditekankan pada Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan”.
Kemudian Poin kedua dari pembahasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, yaitu mendahulukan kepentingan nasional dan masyarakat banyak atas kepentingan hak masyarakat hukum adat. Yang menjadi pertanyaan kemudian seperti apa kondisi dan syarat sehingga suatu kepentingan merupakan kepentingan Nasional dan masyarakat banyak sehingga hak ulayat dapat dikorbankan? Pertanyaan ini dicoba dijelaskan dalam penjelasan pasal 3 UUPA (No.5 Tahun 1960) yang menyebutkan bahwa proyek berupa proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk seringkali berbenturan dengan hak ulayat, sedangkan di satu sisi penambahan hasil bahan makanan sangat diperlukan di bumi ini.
Menurut penulis bukan jadi soal pengorbanan hak ulayat atas kepentingan Nasional dan Negara, tetapi kejelasan aturan dan kompensasi atas pengorbanan itu yang kemudian sering tidak terjamah. Hanya dengan alasan kepentingan Nasional atau dahulu kepentingan pembangunan, hak ulayat diambil tanpa memberikan solusi kompensasi bagi masyarakat Hukm Adat yang memiliki hak atas hak ulayat tersebut. Yang terjadi kemudian ialah timbulnya konflik yang berkepanjangan antara pihak pemerintah dengan masyarakat Hukum Adat.
Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Pengakuan atas keberadaan dan hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat disebutkan pada Pasal 6 Ayat (2) dan (3). Akan tetapi kembali dalam undang-undang ini, tidak diatur jelas pengakuan tentang hak ulayat tersebut, seperti yang disebutkan pada Pasal 16 yang memuat wewenang dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola sumber daya air, atau di Pasal 17 yang mengatur wewenang dan tanggungjawab pemerintah desa dalam mengeloa sumber daya air.
Pada bidang kehutanan, hak ulayat, hukum adat dari masyarakat hukum adat diakui dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 41 Tahun 1999 yang direvisi dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999. Pada Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (4) menyebutkan bahwa dalam pengelolaan kawasan hutan tetap akan memperhatikan hak masyarakat hukum adat yang berlaku pada daerah tersebut, tetapi bila eksistensi masyarakat hukum adat pada kawasan tersebut sudah tidak ada maka kawasan hutan tersebut pengelolaannya akan dikembalikan kepada negara. Kemudian pada Pasal 37 ayat (1) dan (2) disebutkan hak pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat hukum adat. Dibandingkan dalam UUPA (No. 5 Tahun 1960), hak masyarakat hukum adat sudah lebih baik.
Sebaliknya menurut Nababan, dalam makalahnya tahun 2002, menyebutkan bahwa, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang secara hirarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan/pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada di wilayah adatnya. Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak masyarakat adat dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/2001. Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan, sedangkan kepemilikan tetap berada di tangan negara. Dengan demikian maka TAP MPR No. IX/2002 memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk merubah UU No. 41/1999, sehingga UU ini dengan semua peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat atas hutan adat sudah tidak layak digunakan sebagai produk hukum untuk menetapkan LEGALITAS penebangan hutan.

Sumber:

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2001. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX / MPR / 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, MPR-RI, Jakarta.
Menteri Kehutanan, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 23/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Hasil Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Menteri Kehutanan, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Menteri Kehutanan, 2008. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.49/Menhut-II/2008 Tentang Hutan Desa, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Menteri Negara Agraria, 1999. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Kementerian Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.
Nababan, Abdon, 2002. Revitalisasi Hukum Adat untuk Menghentikan Penebangan Hutan secara 'Illegal' di Indonesia, Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Multi-Pihak tentang "Illegal Logging Suatu Tantangan dalam Upaya Penyelamatan Hutan Sumatera", Yayasan Hakiki, Departemen Kehutanan dan MFP-DFID, Pekanbaru.
Presiden Republik Indonesia, 1960. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 1997. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok Kehutanan, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok Kehutanan, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Sumardjani, Lisman, 2005. Konflik Sosial Kehutanan, e-book : http://www.rimbawan.com/konflik_lisman_v115/index.htm, time: 2 January 2010, 11:28 am
Yulianti, Asih, 2005. Kopermas, Masyarakat Hukum Adat yang Menjadi Tameng Pihak Yang Berkepentingan, Govermance Brief, Journal of CIFOR Forests and Government Programme, (5):1-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar