Sabtu, 13 Maret 2010

Hukum Adat dan Sistem Tenurial

Yulianus Edo Natalaga, 
Yogyakarta, Oktober 2009
Secara umum, hukum adat yang berlaku di masyaraakat Indonesia meliputi berbagai macam bidang kehidupan. Beberapa ahli mengelompokkannya kedalam beberapa bidang hukum adat. Soerojo Wignjodipoero, secara umum mengelompokkan hukum menjadi lima kelompok hukum: Hukum Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum Antar Bangsa Adat. Dari pengelompokkan tersebut kemudian Soepomo membagi hukum adat yang meliputi: Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Hukum Waris, Hukum Tanah, Hukum Hutang piutang, Hukum Pelanggaran. Sedangkan Van Vollenhoven, pembidangan hukum adat menurutnya terbagi menjadi: Bentuk masyarakat hukum adat, Tentang Pribadi, Pemerintahan dan Peradilan, Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Hukum Waris, Hukum Tanah, Hukum utang piutang, Hukum delik, Sistem sanksi (Jasmin, 2007).
Dalam pengelompokkan hukum adat di atas, terutama oleh Soepomo dan Van Vollenhoven, yang memiliki kaitan langsung dalam pengelolaan lingkungan dan SDA adalah hukum adat. Peraturan yang mengikat para anggota adat tersebut dalam sistem kepemilikan dan sistem hak atas sebidang lahan. Sistem penguasaan tanah ini atau tenurial system yang kemudian titik pijak penting dalam pembahasan tulisan ini selanjutnya. Banyak konflik-konflik yang terjadi dalam pengelolaan lingkungan dan SDA bermula pada masalah legalitas penguasaan lahan atau tanah.
Menurut Bruce (1998) dalam Review of tenure terminology, istilah "tenure" berasal dari jaman feodal Inggris. Setelah menduduki Inggris tahun 1066, bangsa Normandia menghapuskan hak-hak masyarakat atas tanahnya, dan mengganti hak tersebut hanya sebagai pemberian grant (bantuan) dari pemerintahan baru.
Beberapa sumber menjelaskan bahwa kata tenure berasal dari kata dalam bahasa Latin"tenere" yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Land tenure berarti sesuatu yang dipegang dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban dari pemangku lahan ("holding or possessing" = pemangkuan atau penguasaan). Land tenure adalah istilah legal untuk hakpemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu mempunyai hak menguasai.
Sistem "land tenure" adalah keseluruhan sistem dari pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional, maupun oleh sistem lokal. Sebuah sistem "land tenure" sulit dimengerti kecuali dikaitkan dengan sistem ekonomi, politik dan sosial yang mempengaruhinya. [Bruce, 1998].
Oleh karena itu dalam membicarakan land tenure, kita akan membicarakan masalah tenurial sistem ini dilihat sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak (tenure system is a bundle of rights) yang mana di dalamnya juga terkandung makna kewajiban (obligation). Hal ini didasarkan pada kenyataan lapangan seringkali ditemukan, bahwa hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam ini bersifat multidimensi dan berlapis-lapis. Tidak jarang terjadi, orang atau kelompok orang yang berbeda-beda mempunyai hak pada sebidang tanah atau sesuatu sumber alam yang sama.
Misalnya pada sebagian dari sistem "kepemilikan" tanah adat, meskipun dikenal hak individu untuk "memiliki" sebidang tanah, namun individu tersebut tidak mempunyai hak untuk mengalihkan tanah tersebut ke orang lain secara bebas tanpa ikut campurnya keluarga dan/atau komunitas dimana tanah itu berada. Pohonpohon tertentu yang berumur panjang misalnya, punya aturan sistem kepemilikan dan pemanfaatan tertentu yang kadang-kadang tidak terkait dengan kepemilikan tanah dimana pohon itu terdapat. Sistem ini bisa berbeda untuk jenis tumbuhan lain yang tumbuh semusim, misalnya.
Terkait dengan sistem tenure, ada juga penggunaan istilah land ownership yang diartikan sebagai kepemilikan terhadap lahan atau kepemilikan atas hak atau kepentingan atas lahan. Kepemilikan lahan atau hak/kepentingan atas lahan dapat diatur dalam bermacam-macam sistem tenurial, yang secara luas terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah tenurial yang diakui dan diatur dalam hukum-hukum Negara, sementara kelompok kedua adalah sistem tenurial yang dikenali dan bahkan diatur secara lokal dan terkait dengan praktek-praktek tradisional (tenurial secara adat). [Cromwell 2002]
Ini adalah salah satu contoh sederhana dimana hak untuk menguasai, memanfaatkan, mengelola, mengalihkan kepemilikan tidak selalu berada pada orang yang sama. Dengan demikian pengertian "bundle of rights" dalam resource tenure sistem, memunculkan serangkaian hak tertentu dan pembatasan-pembatasan tertentu atas hak-hak tersebut. Berdasarkan sudut pandang ini, pada setiap tenure sistem masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen hak, yakni:
-          Subyek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subyek hak bervariasi bisa dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat Negara.
-          Obyek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau makhluk hidup dalam suatu kawasan perairan, maupun suatu kawasan atau wilayah udara tertentu. Obyek hak termaksud harus bisa dibedakan dengan alat tertentu, dengan obyek lainnya. Untuk obyek hak berupa suatu persil tanah atau kawasan perairan, batas-batasnya dapat diberi suatu symbol. Obyek hak bisa bersifat total bisa juga parsial. Misalnya, seseorang yang mempunyai hak atas pohon sagu tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah dimana pohon sagu itu berdiri.
-          Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang dari hak milik, hak sewa, hingga hak pakai, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu lain hingga Negara) dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu.
Sumber :
Bruce, JW. 1998. Review of tenure terminology. Tenure Brief No. 1. University of Wisconsin-Madison. USA.
Cromwell E. 2002. Key Sheet for Pro-poor Infrastructure Provision: Land Tenure. Department for International Development. UK
Jasmin, M., dan Mulyanto, 2007. Bahan Ajar Kuliah Sosiologi Hukum Fakultas Hukum UNS. Tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo.

6 komentar:

  1. Bagus banget....lumayan buat nambah ilmu sebelum thesis

    BalasHapus
  2. makasih untuk referensinya :)

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Menurut Bruce (1998) dalam Review of tenure terminology, istilah "tenure" berasal dari jaman feodal Inggris. Setelah menduduki Inggris tahun 1066, bangsa Normandia menghapuskan hak-hak masyarakat atas tanahnya, dan mengganti hak tersebut hanya sebagai pemberian grant (bantuan) dari pemerintahan baru.
    Beberapa sumber menjelaskan bahwa kata tenure berasal dari kata dalam bahasa Latin"tenere" yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Land tenure berarti sesuatu yang dipegang dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban dari pemangku lahan ("holding or possessing" = pemangkuan atau penguasaan). Land tenure adalah istilah legal untuk hakpemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu mempunyai hak menguasai.
    Sistem "land tenure" adalah keseluruhan sistem dari pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional, maupun oleh sistem lokal. Sebuah sistem "land tenure" sulit dimengerti kecuali dikaitkan dengan sistem ekonomi, politik dan sosial yang mempengaruhinya. [Bruce, 1998].
    Oleh karena itu dalam membicarakan land tenure, kita akan membicarakan masalah tenurial sistem ini dilihat sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak (tenure system is a bundle of rights) yang mana di dalamnya juga terkandung makna kewajiban (obligation). Hal ini didasarkan pada kenyataan lapangan seringkali ditemukan, bahwa hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam ini bersifat multidimensi dan berlapis-lapis. Tidak jarang terjadi, orang atau kelompok orang yang berbeda-beda mempunyai hak pada sebidang tanah atau sesuatu sumber alam yang sama.

    ------------------------------------------------------------

    Saya pernah melihat sebagian tulisan anda di salah satu tulisan Antropologi Universitas Sumatera Utara. Tulisan tersebut ada pada tahun 2008. Saya pikir anda tahu siapa orang yang saya maksud.

    Saya pikir, pada kasus tulisan anda, sebaiknya menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa apa yang anda lakukan merupakan kekeliruan (plagiarisme) terhadap si penulis, apalagi anda dan saya adalah alumni Universitas Gadjah Mada.

    Jika anda luang, sempatkan berkunjung ke Magister Pengelolaan Lingkungan UGM. Siapa tahu ada tulisan lain yang belum sempat anda sebutkan penulisnya.

    Terima kasih.
    Salam Penulis.

    BalasHapus