Yulianus Edo Natalaga, Yogyakarta
Kesempatan bagi masyarakat hukum adat untuk memperoleh kekuatan hukum dalam pengelolaan hak ulayatnya diperkuat dengan diundangkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. 37 Tahun 2007 yang mengatur tentang Hutan Kemasyarakatan. Permen-Hut No. 37 Tahun 2007 ini didukung oleh beberapa instrumen lain yaitu Permen-Hut No. 23 Tahun 2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Hasil Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman, Permen-Hut No 49 Tahun 2008 Tentang Hutan Desa.
HKM sebenarnya tidak ditujukan khusus untuk mengakui hak masyarakat adat dalam mengelola atau memungut hasil hutan. Kesimpulan itu bisa dibuktikan dengan mencermati UUK dan Keputusan Menhut No. 31/ 2001 (selanjutnya disebut SK HKM). Pengaturan mengenai HKM dalam UUK dapat dijumpai pada Penjelasan Pasal 5 ayat (1). UUK dan SK-HKM, memisahkan defenisi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat, namun tidak pula dinyatakan bahwa keduanya memang berbeda.
Izin kegiatan HKM diberikan oleh Bupati di wilayah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan pengelolaan HKM oleh menteri kehutanan. Izin tersebut diberikan kepada kelompok masyarakat yang telah disiapkan. Izin tersebut diberikan untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang. Dengan tegas SK HKM mengatakan bahwa izin kegiatan HKM bukan merupakan hak pemilikan atas kawasan hutan dan tidak dapat diagunkan atau dipindahtangankan.
Sampai sekarang seperti yang dikutip dari Sumardjani (2005), izin kegiatan HKM yang diberikan kepada masyarakat adat baru ada di Toraja (Sulsel) dan Taman Hutan Raya Gunung Betung (Lampung). Sayang, izin ini diberikan karena dorongan proyek percontohan yang didukung oleh Ford Foundation. Izin tersebut juga masih bersifat sementara, belum merupakan izin defenitif. Inisiatif menarik dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kutai Barat yang menggunakan istilah Kehutanan Masyarakat, bukan HKM. Istilah itu digunakan dalam Perda No. 12/2003 tentang Kehutanan Masyarakat. Dalam Perda tersebut, hutan adat dikategorikan sebagai jenis Kehutanan Masyarakat. Sayang, sampai sekarang pemda belum juga mengeluarkan satu izin pun, sekalipun saat ini telah masuk puluhan permohonan izin kehutanan masyarakat. Begitu juga inisiatif I Wayan Dirta, mantan Bupati Kabupaten Lampung Barat, yang menerbitkan izin HKM sementara kepada dusun 2 dusun di Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat (Lampung).
Kasus yang lain terjadi di Manokwari, kegiatan penebangan kayu yang izin penebangannya dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Manokwari, Papua, yang lebih dikenal dengan Kopermas (Koperasi Peranserta Masyarakat Adat), belum berdampak pada Masyarakat Hukum Adat (MHA) pemilik Kopermas. Hal ini terjadi karena sebagian besar MHA memiliki pengetahuan yang sangat rendah tentang koperasi, keuangan dan kehutanan. Pemda diharapkan dapat membantu meningkatkan pengetahuan MHA, dalam berorganisasi dalam koperasi, merencanakan dan mengelola keuangan, kegiatan eksploitasi hutan yang berazas kelestarian serta jenis kayu yang bernilai komersial dan nilai jualnya. Hanya demikian tujuan Kopermas, yaitu membangun dan menumbuhkan pemberdayaan perekonomian MHA di dalam maupun di sekitar hutan, dapat tercapai. Tetapi, sayangnya kurangnya kualitas SDM yang mengelola Kopermas, membuat koperasi ini tumbang satu-persatu hingga dari 84 ijin Kopernas yang dikeluarkan tinggal 2 yang aktif. Dua Kopermas ini juga bertahan dengan kondisi pencatatan keuangan yang minus. Tingginya biaya pemanenan dan pengurusan ijin keluar kayu menjadi faktor lain. Selain itu, Kopermas menjadi tameng para pedagang besar kayu untuk mengeruk SDA kayu di Manokwari (Yulianti, 2005).
Tetapi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang biasa disebut UUPPLH, keberadaan dan pengakuan atas hak ulayat dari masyarakat hukum adat semakin diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 63 Ayat (1) huruf (t), ayat (2) huruf (n) dan ayat (3) huruf (k) yang menerangkan wewenang dan tanggungjawab dari Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota.
Dalam ayat (1) huruf (t) disebutkan bahwa “Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang: …. t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;…”
Selanjutnya pada ayat (2) “Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang: …. n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;…”
Dan terakhir pada ayat (3) “Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: … k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;…”
Dengan pasal ini, setiap tingkat pemerintah memiliki kewenangan dan pembagian kewenangan yang jelas dalam menjaga hak masyarakat hukum adat dan kearifan lokal, terutama yang terkait dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini kemudian diperkuat dalam Pasal 70 tentang peran masyarakat, ayat (3) tentang tujuan peran masyarakat dalam huruf e. yang berbunyi “ Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Dari poin ini, pengakuan dan akomodasi atas hukum adat dan kearifan lokal bukan saja kewenangan pemerintah tetapi juga dari pihak masyarakat itu sendiri. Hal ini beralasan, pengikisan nilai-nilai hukum adat tidak hanya secara sistematis oleh pemerintah tetapi juga akibat masuknya nilai-nilai baru ke dalam masyarakat yang tidak mendukung nilai kearifan lokal itu sendiri.
Tetapi seperti yang dikatakan para pejuang kemerdekaan tahun 1945, “perjuangan belum berakhir”. Dengan adanya UUPPLH ini, pekerjaan besar lainnya sudah menanti, baik bagi pihak pemerintah maupun masyarakat terutama dalam mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat dalam pengelolaan lingkungan. Masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksana dan teknis baik dari pusat maupun daerah agar undang-undang ini dapat diterapkan. Selain itu diperlukan penyesuaian pada bentuk hukum perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup lain seperti UU-SDA, UU-Pokok Kehutanan, UU-Pokok Agraria, UU-Perkebunan dan sebagainya agar selaras dengan UUPPLH ini.
Dengan instrumen hukum yang ada, hingga saat ini masih sedikit Pemerintah Daerah yang kemudian melindungi hak-hak masyarakat hukum adatnya. Antara lain:
1. Kabupaten Lebak (Banten) dengan Perda Nomor 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy,
2. Surat Keputusan Bupati Bungo (Jambi) Nomor 1249 tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo,
3. Surat Keputusan Bupati Merangin (Jambi) Nomor 287 tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin dan
4. Perda Kabupaten Kampar (Riau) Nomor 12 tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat.
(Sumardjani, 2005)
Diharapkan lebih banyak daerah yang dapat mengakomodasi dan mengakui keberadaan hukum adat serta hak-hak dari masyarakat hukum adat yang ada di wilayahnya.
Sumber:
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2001. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX / MPR / 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, MPR-RI, Jakarta.
Menteri Kehutanan, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 23/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Hasil Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Menteri Kehutanan, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Menteri Kehutanan, 2008. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.49/Menhut-II/2008 Tentang Hutan Desa, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Menteri Negara Agraria, 1999. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Kementerian Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.
Nababan, Abdon, 2002. Revitalisasi Hukum Adat untuk Menghentikan Penebangan Hutan secara 'Illegal' di Indonesia, Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Multi-Pihak tentang "Illegal Logging Suatu Tantangan dalam Upaya Penyelamatan Hutan Sumatera", Yayasan Hakiki, Departemen Kehutanan dan MFP-DFID, Pekanbaru.
Presiden Republik Indonesia, 1960. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 1997. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok Kehutanan, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok Kehutanan, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Sumardjani, Lisman, 2005. Konflik Sosial Kehutanan, e-book : http://www.rimbawan.com/konflik_lisman_v115/index.htm, time: 2 January 2010, 11:28 am
Yulianti, Asih, 2005. Kopermas, Masyarakat Hukum Adat yang Menjadi Tameng Pihak Yang Berkepentingan, Govermance Brief, Journal of CIFOR Forests and Government Programme, (5):1-4