Yulianus Edo Natalaga, Yogyakarta
Secara global perkembangan hukum di Indonesia seperti yang diterangkan oleh Lindsey pada tahun 2008 adalah sebagai berikut:
- Periode Tradisional (sampai awal abad 19).
- Periode Kolonial (dari abad 19 sampai 1945).
- Periode Orde Lama (dari 1945 sampai Maret 1966).
- Periode Orde Baru (dari Maret 1966 sampai 21 Mei 1998 setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti dengan Presiden BJ. Habibie).[1]
- Periode Reformasi dari tahun 1998 sampai sekarang.
(Lindsey, 2008)
Pada periode tradisional, hukum yang berlaku adalah hukum-hukum adat yang bersifat sangat regional atau hanya mengikat pada anggota etnis tertentu saja. Menurut Soepomo dalam Jamin 2007, dalam pembentukan suatu aturan menjadi suatu hukum adat, mengikuti pola sebagai berikut:
- Usage. Adalah cara-cara dalam melakukan bentuk perbuatan tertentu yang telah diterima dalam masayarakat .
- Folkways. Kebiasaan yang diulang-ulang dalam melakukan perbuatan yang sama
- Mores (tata kelakuan). Apabila kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku tetapi diterima sebagai kaidah-kaidah pengatur.
- Custom (adat istiadat). Adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola kelakuan masyarakat. Atau dapat juga didefinisikan sebagai kaidah yang dikenal, diakui, dihargai dan ditaati, namun tidak mempunyai kekuatan mengikat (binding force) yang dapat dipaksakan
- Living law/ people’s law/ traditional law/ customary law/ hukum rakyat/ adatrecht/ hukum adat. Ialah kaidah yang berisi perintah, larangan dan kebolehan.
Dengan menelaah perkembangan di atas, dapat dimaklumi bahwa hukum adat memiliki akar yang kuat terutama pada komunitas-komunitas masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional ini di Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang pada masa lalu hingga saat ini berinteraksi langsung dengan sumber daya alam. Hal ini yang kemudian menciptakan image bahwa masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang terpencil. Hal ini dapat dibenarkan mengingat sumber-sumber daya alam berada di daerah terpencil.
Pengakuan terhadap keberadaan hukum adat ini kemudian mengalami pasang surut, sesuai dengan perkembangan hukum yang berlaku di Indonesia. Perkembangan dasar hukum berlakunya hukum adat di Indonesia dari masa ke masa sebagaimana dikutip dalam Jasmin tahun 2007, adalah sebagai berikut:
1. Masa Hindia Belanda
Dasar hukum: Indische Staatsregeling (IS), sistem hukum pluralisme, yaitu dalam
Pasal 131 ayat (2) huruf a
Berbunyi: “bahwa utk hkm perdata materiil bagi golongan eropa berlaku asas konkordansi,, artinya bagi orang eropa pada asasnya hukum perdata yang berlaku di negeri belanda akan dipakai sebagai pedoman dengan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan berhubung keadaan yang istimewa (Politik Penjajahan)”
Pasal 131 ayat (2) huruf b
Intinya bagi golongan Indonesia asli dan timur asing berlaku hukum adat masing-masing dengan kemungkinan penyimpangan dalam hal :
a. kebutuhan masyarkat menghendakinya, maka akan ditundukkan pada perundang-undangan yang berlaku bagi golongan eropa.
b. kebutuhan masyarkat menghendaki atau berdasar kepentingan umum, maka pembentuk ordonansi DAPAT mengadakan hukum yang berlaku bagi orang indonesia dan timur asing atau bagian-bagian tersendiri dari golongan-golongan itu, yang bukan hukum adat bukan pula hukum eropa MELAINKAN hukum yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang sendiri.
Dalam realitanya. Hal ini kemudian tak pernah terwujud. Oleh karena itu berlaku Ketentuan Peralihan Psl 131 ayat (6) yakni “bahwa selama dan sekedar ordonansi-ordonansi dimaksud ayat (2) huruf b belum terbentuk, bagi orang-orang yang bukan orang EROPA tetap berlaku hukum adat mereka yakni hukum yang berlaku pada saat berlakunya IS.
2. Masa Penjajahan Jepang
Poin ptg Pasal 3 UU No.1 Tahun 1942 (7 Maret 1942) dengan isi:
“Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu saja, asal tidak bertentangan dengan peraturan militer”
Pada hakikatnya Undang-undang ini hanya ketentuan peralihan karena masanya pendek, sesuai dengan pendeknya masa pendudukan Jepang di Indonesia.
3. Masa Pasca Kemerdekaan (18-8-1945)
Pada masa pasca kemerdekaan, hingga saat ini dasar hukum dari pemberlakuan hukum adat meliputi:
Pada Undang-Undang Dasar
- Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”
- Pasal 104 ayat (1) UUDS 1950
“Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu”
- Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pasca dekrit presiden 5 juli 1959.
Pada Ranah Undang-undang: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
( Pasal 3 ) “Hukum yang dipakai oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang berdasarkan pancasila yakni yag sifatnya berakar pada kepribadian bangsa”
Pasal 17 ayat (2) à berlakunya hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis
Penjelasan Umum UU No 19/1964 disebutkan: “….bahwa peradilan adalah peradilan negara, dengan demikian tidak ada tempat bagi peradilan swapraja dan peradilan adat. Apabila peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin mereka akan dihapuskan seperti yang secara berangsur-angsur telah dilaksanakan”.
Menurut Jasmin, ketentuan ini tidaklah bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis (hukum adat, penulis) melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada pengadilan-pengadilan negara. Dengan ketentuan bhw hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan sejajar, sehingga turut serta secara aktif merealisasikan penyatuan dan kesatuan hukum di seluruh Indonesia
Tetapi kemudian dalam perkembangannya dalam Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 18B poin (2) pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". Pasal ini, walaupun untuk pelaksanaannya masing memerlukan UU, menempatkan komunitas-komunitas masyarakat adat dalam posisi yang kuat dan penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya.
Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 28I poin (3) pada Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak azasi manusia yang harus dihormati oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini, menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindungi hak-hak adatnya. Dengan klausal ini maka konstitusi telah menggariskan bahwa penentuan suatu komunitas sebagai masyarakat adat sepenuhnya berada ditangan komunitas yang bersangkutan (self-identification and self-claiming), bukan ditentukan oleh pemerintah atau oleh para akademisi/ilmuwan/peneliti. Artinya kalau suatu komunitas masyarakat adat bisa menunjukkan identitas budayanya dan hak-hak tradisional yang diwariskan dari leluhurnya (penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen menyebut hak ini sebagai hak asal asul) yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, maka negara harus hormatinya.
TAP MPR No. IX/2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan sumberdaya alam telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya alam (Nababan, 2002).
Perkembangan dasar hukum selanjutnya: Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
- Pasal 23 ayat (1)
“ Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili “
- Pasal 27 ayat (1)
“ Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ”
Menurut Jasmin, perundang-undangngan ini telah terdapat dasar berlakunya tetapi daya berlakunya lebih rendah, karena:
- Desain yuridisnya. Penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Th 1970 : “Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan dtg kepadanya utk mhn keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara”
jadi hukum adat hanya berupa suplemen, pelengkap pada hierarki hukum perundang-undangan yang ada.
- Politik centralisme negara..à hukum absolut negara
- Proses transformasi masyarkat industri à membutuhkan jaminan kepastian hukum (prodictability) dipengaruhi paham instrumentalisme hukum
- Perbandingan kemampuan hukum nasional versus hukum adat. Mulai lembaga pembuat hukum nasional hingga penegakannya jelas hukum adat bukanlah tandingannya.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (UUHAM). Pasal 6 UUHAM berbunyi: Ayat (1): “Dalam rangka penegakkan hak azasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.” Ayat (2): “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.”
UU No. 4 Tahun 2004 ttg Kekuasaan Kehakiman
- Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
- Pasal 18B ayat (2)
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
- Pasal 25 ayat (1)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (Penjelasan cukup jelas)
Pasal ini kemudian penting karena pada penjelasan kemudian menghilangkan klausula…Andaikata hakim tdk mnemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, (Penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Th 1970)
- Pasal 28 ayat (1)
“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Penjelasan: Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
- Pasal 28I ayat (3)
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
- Pasal 32 ayat (1)
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
- Pasal 36A
“Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Uraian di atas menggambarkan semakin susutnya pengakuan secara de jure negara terhadap keberadaan dan kuasa dari hukum adat.
Sumber:
Lindsey, T, 2008. Indonesia: Law and Society, 2nd Edition, The Federation Press, Annandale.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2001. Amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia , 1945. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. PPKI, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 1964. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 1970. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 1999. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Info menarik,
BalasHapusKami juga punya Buku ni Tentang HUKUM ADAT INDONESIA | Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum
http://marketing-buku.com/hukum-adat-indonesia
Ada buku yg di atas gan?
BalasHapusAda buku yg di atas gan?
BalasHapus